Medianesia.id – Beberapa waktu lalu ramai kabar viral tentang kegeraman para netizen atas perilaku seorang ibu yang marah-marah dengan kata-kata kasar ke kurir sang pengantar barang. Pasalnya, barang yang dipesan dari marketplace kemudian diantar oleh sang kurir, dianggap tidak sesuai dengan barang yang dipesan pembeli.
Netizen menganggap perilaku seorang ibu ini sudah keterlaluan karena sesungguhnya kurir hanyalah pihak yang bertugas mengantar barang dan tidak punya kaitan apapun terhadap transaksi jual beli yang terjadi.
Boleh jadi, permasalahan ini timbul karena sang pembeli yang kurang memahami bagaimana mekanisme jual beli skema cash on delivery (COD) yang diberlakukan oleh marketplace, atau bisa juga ketidaksesuaian yang terjadi hingga membuat jengkel sang pembeli, mungkin justru bersumber dari mekanisme COD yang ditentukan oleh marketplace.
Sebelum sampai pada solusi yang ditawarkan termasuk memperbanyak literasi tentang transaksi jual beli secara digital, hingga langkah-langkah pembenahan yang mungkin perlu dilakukan pada mekanisme COD pada marketplace, tentu perlu kita pahami lebih dulu apa itu definisi sistem pembayaran digital dengan skema COD yang ditentukan oleh marketplace pada umumnya, serta pemahaman tentang bagaimana mekanisme yang ditentukan marketplace sehingga dianggap berpotensi merugikan para pihak terkait yakni penjual, pembeli atau sang kurir pengantarnya.
COD yang diberlakukan oleh marketplace secara umum bermakna bayar di tempat, yang berarti merupakan metode pembayaran secara langsung saat kurir pengantar barang telah sampai di rumah atau alamat tujuan, di mana pembayaran cash akan diserahkan pembeli kepada kurir, sebelum barang diterima dan dibuka (di-unboxing) oleh pembeli atau pihak lain yang dianggap mewakili pembeli.
Metode COD ini masih dipertahankan hingga kini oleh beberapa toko berbasis belanja online untuk memberikan rasa kepercayaan dari pembeli bahwa barang yang dipesan bukanlah barang abal-abal atau jual beli tipu-tipu yang menjadi momok menakutkan bagi para pembeli.
Dengan metode COD ini pula, penjual akan diuntungkan sebab saat kepercayaan dengan konsumen sudah terbangun, mekanisme ini akan meningkatkan peluang orderan menjadi semakin tinggi. Apalagi ketika pembeli juga memberikan garansi pengembalian bila barang yang diterima konsumen dianggap tidak sesuai dengan transaksi pembelian yang dilakukan melalui platform marketplace.
Berdasarkan statistik e-commerce tahun 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dari sekitar 17 ribu usaha e-commerce di Indonesia yang didata, 73 persen di antaranya menggunakan metode pembayaran tunai atau COD.
Fakta di lapangan ini menerangkan kepada kita bahwa transaksi metode COD ternyata lebih banyak dipilih oleh pembeli karena mereka lebih merasa nyaman telah bisa memastikan barang pesanannya mendarat dengan selamat sebelum mengeluarkan sejumlah uang untuk membayarnya.
Namun ada ketentuan yang perlu diketahui pula yaitu pembatasan untuk menggunakan metode pembayaran COD bagi pembeli yang melakukan pembatalan pesanan beberapa kali dalam satuan waktu tertentu melalui platform di marketplace.
Merujuk pada ketentuan yang didapatkan dari laman marketplace pada umumnya, yaitu bagi pembeli yang kedapatan beberapa kali membatalkan transaksi COD, pihak marketplace akan menonaktifkan / mencabut fasilitas pembayaran COD selama beberapa waktu. Metode ini dilakukan untuk membatasi kebiasaan pembeli yang sering melakukan penolakan paket dengan kiriman bayar di tempat meskipun tanpa alasan apapun.
Lalu apa yang menjadi argumentasi pihak marketplace menerbitkan ketentuan penonaktifan bagi pembeli tipe ini? Hal ini disebabkan pembatalan order dengan alasan apapun yang dilakukan pembeli sebelum barang sampai di alamat tujuan, bisa merugikan pihak penjual.
Kerugian yang diderita oleh penjual ketika pembeli mendadak membatalkan transaksi antara lain adalah biaya proses pengemasan paket, ongkos tenaga kerja, biaya bahan bakar kendaraan dan risiko atas kerusakan barang yang mungkin terjadi pada saat barang dalam pengiriman.
Beberapa biaya tersebut sebenarnya sudah diperhitungkan oleh penjual pada transaksi yang dilakukan secara transfer bank, namun sepertinya masih di luar perkiraan ketika pembatalan dilakukan oleh pembeli secara mendadak.
Biasanya saat penjual mempersiapkan paket dengan mekanisme transfer, hal ini sudah sesuai spesifikasi yang di order pembeli, sehingga risiko penolakan menjadi tidak ada dalam hitungan penjual barang.
Dalam arti ketika pembeli ingin mengembalikan barang dengan alasan yang masuk akal, semisal karena barang tidak sesuai spesifikasi dalam akad jual beli atau rusak tidak berfungsi, tentu hal tersebut bisa dilakukan setelah paket dibuka sehingga ada kepastian terhadap kondisi kualitas barang. Selain itu, potensi kerugian yang mungkin ditanggung penjual akan lebih terukur jumlahnya karena dapat lebih mudah diprediksi atas biaya – biaya tak terduga yang mungkin akan timbul.