Medianesia.id, Batam – Kota Batam menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan sistem pengawasan distribusi BBM bersubsidi menggunakan Fuel Card.
Kebijakan yang dijadwalkan mulai berlaku pada Maret 2025 ini menuai kontroversi di kalangan masyarakat dan pejabat daerah.
Sistem ini diperkenalkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Batam, bertujuan mengontrol distribusi BBM subsidi jenis Pertalite dengan membatasi pembelian berdasarkan kapasitas kendaraan.
Fuel Card dikenakan biaya administrasi sebesar Rp20 ribu per bulan (revisi dari Rp25 ribu sebelumnya).
Dengan 23.372 kartu yang sudah diterbitkan, potensi pendapatan pemerintah mencapai sekitar Rp464,4 juta per bulan atau lebih dari Rp5,6 miliar per tahun.
Namun, biaya ini menuai kritik karena dianggap membebani masyarakat yang berhak menerima subsidi BBM.
Selain itu, pemerintah menargetkan penerbitan 210.000 kartu dalam waktu dekat. Namun, absennya keterlibatan bank milik negara dan daerah, seperti Bank Riau Kepri (BRK), menimbulkan pertanyaan terkait transparansi pengelolaan dan efektivitas sistem ini.
Salah satu sorotan kebijakan ini adalah adanya dualisme kebijakan antara Fuel Card dan aplikasi MyPertamina dengan QR Kendali yang dirancang pemerintah pusat.
Dualisme ini dianggap membingungkan masyarakat dan berpotensi membuka celah penyalahgunaan distribusi BBM bersubsidi.
Kepala Disperindag Batam, Gustian Riau, menjelaskan perbedaan fungsi antara kedua sistem ini. Menurutnya, QR Code MyPertamina berfungsi mendata kendaraan penerima subsidi.
“Fuel Card mengendalikan pembelian BBM di lapangan,” katanya.
Ketua DPRD Kota Batam, Muhammad Kamaluddin, menilai kebijakan ini perlu kajian lebih mendalam agar tidak merugikan masyarakat.
Ia menginstruksikan Komisi II DPRD Batam untuk memanggil Disperindag guna meminta penjelasan resmi terkait implementasi Fuel Card.
Sementara itu, Ruslan Sinaga, anggota Komisi II DPRD, menegaskan bahwa penerapan Fuel Card 5.0 belum matang karena tidak didukung oleh Peraturan Wali Kota (Perwako) yang jelas.
“Sebelum sistem ini berjalan, harus ada aturan yang mengikat, karena ini menyangkut kepentingan masyarakat luas,” ujar Ruslan.
Ia juga mempertanyakan alokasi dana administrasi yang dikumpulkan melalui Fuel Card, menyarankan agar pengelolaan diserahkan kepada Pertamina sebagai pihak yang berwenang, sementara Disperindag cukup berfungsi sebagai pengawas.
Fuel Card mengatur pembatasan pembelian BBM berdasarkan jenis kendaraan. Kendaraan roda empat dengan kapasitas mesin di bawah 1.400 cc hanya diperbolehkan membeli 20 liter per hari, sedangkan kendaraan angkutan barang memiliki batasan 25 liter per hari.
Kendati demikian, banyak pihak mempertanyakan urgensi kebijakan ini, mengingat tidak ada laporan signifikan terkait kekurangan stok atau penyalahgunaan distribusi BBM subsidi di Batam.(*)
Editor: Brp