Medianesia.id, Batam – Jumlah anggota masyarakat kelas menengah di Indonesia dilaporkan menurun. Sejumlah pengamat ekonomi khawatir, situasi ini bisa melemahkan pertumbuhan ekonomi.
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan menurunnya jumlah anggota masyarakat kelas menengah bisa berdampak pada pelemahan perekonomian tanah air, mengingat jumlah mereka mencapai 60 persen dari total populasi Indonesia.
Apabila kelas mayoritas ini turun, kata Faisal, tingkat konsumsi rumah tangga yang merupakan salah satu penopang utama perekonomian nasional akan terpengaruh.
Berdasarkan data yang ada, jelasnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata sudah menyentuh level 4,9 persen, atau lebih rendah darai masa pra pandemi COVID-19, yang angkanya sekitar lima persen.
“Kalau itu terjadi maka, pertumbuhan ekonomi tidak bisa naik karena 56 persen ekonomi kita berasal dari konsumsi rumah tangga. Sehingga kalau pemerintah mencanangkan misalnya tahun depan mau pertumbuhan ekonomi 5,2-5,6 persen, itu susah. Apalagi Pak Prabowo rencananya menargetkan sampai 8 persen, itu lebih susah lagi,” ungkap Faisal ketika berbincang dengan VOA.
Faisal menjelaskan, menurunnya jumlah kalangan masyarakat kelas menengah ini disebabkan dampak dari pandemi COVID-19 yang belum pulih sepenuhnya.
Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari pemerintah yang berakhir di 2022 masih menyisakan banyak persoalan.
Hal ini, menurutnya, terlihat dari banyaknya masyarakat yang banting setir dengan bekerja ke sektor informal yang belum tentu bisa mengkompensasi pendapatan mereka ketika bekerja di sektor formal.
Dari sisi jumlahnya pun, kata Faisal, orang yang bekerja penuh waktu atau full time lebih sedikit dibandingkan orang bekerja paruh waktu atau part time.
“Dan itu terkonfirmasi dengan tingkat upah riil yang tumbuhnya sangat sangat tipis di semester-I 2024 hanya tumbuh 0,7 persen, padahal pertumbuhan ekonomi kan lima persen, tapi peningkatan upah riil rata-ratanya itu 0,7 persen. Tahun 2023 malah minus. Upah riil itu kan upah nominal yang dikoreksi dengan inflasi, jadi artinya kalau secara nominal mungkin ada kenaikan tapi kenaikannya tipis saja, dibandingkan dengan inflasi masih lebih tinggi kenaikan inflasi,” jelasnya.
Guna mengatasi masalah ini, katanya, pemerintah perlu memberikan “bantuan sosial/bansos” bagi kalangan masyarakat menengah.
Berbeda dengan bansos untuk masyarakat miskin, pemerintah dinilai perlu membagikan bansos produktif untuk masyarakat kelas menengah, seperti penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas lagi.
“Kalau misalkan mau ada bansos, ya seharusnya bansos produktif, bukan seperti bagi-bagi uang ke kalangan miskin. Misalnya ada proyek padat karya, mereka yang tidak bekerja diminta bekerja, masuk ke proyek tersebut, entah bikin tanggul, irigasi, atau peremajaan pertanian, perkebunan, tapi kemudian dikasih uang. Sama juga seperti dikasih uang, tapi kalau bansos untuk masyarakat miskin adalah untuk konsumsi, ini adalah untuk produksi, dan itu diperbanyak,” katanya.
Selain itu, subsidi untuk kalangan masyarakat kelas menengah ini juga perlu diperluas. Namun Faisal mengingatkan bahwa subsidi ini pun harus selalu tepat sasaran.
“Intinya harus dipastikan bahwa mereka yang kelas menengah ke bawah tetap menerima subsidi. Jadi ada subsidi , lapangan kerja yang padat karya termasuk juga untuk yang mereka kerja di sektor usaha mikro atau kecil ini juga perlu dikasih insentif supaya mereka usahanya berkembang. Insentifnya bukan hanya pembiayaan, tapi yang lebih penting adalah akses pasar dalam negeri khususnya. Dan ini berarti harus ada sinkronisasi, harmonisasi dengan kebijakan perdagangan misalnya. Ini berkaitan. Jadi banyak kebijakan yang sifatnya lintas sektoral, yang kalau itu diorkestrasi dia bisa memperkuat kelas menengah,” tegasnya.
Senada dengan Faisal, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut, penciptaan lapangan pekerjaan merupakan salah satu kunci untuk menolong masyarakat kelas menengah untuk pulih.
Shinta menekankan, penciptaan lapangan kerja ini bukan hanya tugas dari sektor industri besar, namun juga sektor UMKM.
“Memang ada penurunan dari kelas menengah. Jadi ada beberapa aspek sebenarnya yang sudah terlihat dari beberapa waktu terakhir, dan memang selama ini kita harus berpikir bagaimana atau stimulus apa yang kita bisa lakukan untuk bisa meningkatkan (jumlah) kelas menengah. Kami melihat kuncinya adalah dari penciptaan lapangan pekerjaan apalagi kita tidak hanya bisa bergantung pada industri tetapi juga kepada UMKM. Jadi salah satu driver untuk meningkatkan kelas menengah ya memberdayakan UMKM juga,” ungkap Shinta.
Untuk memaksimalkan sektor UMKM dalam penyerapan tenaga kerja, menurut Shinta, pemerintah perlu memberikan berbagai insentif, bukan hanya dari sisi pembiayaan dan pajak, tapi juga penciptaan iklim usaha yang baik.
“Stimulus itu bukan cuma soal pajak, kemudahan berusaha misalnya. Kita selalu ngomong cost of doing business. Saat ini memang Indonesia berkompetisi dengan negara lain yang dimana negara lain lebih kompetitif dari kita, baik itu dari sisi cost, energy dan logistic cost, ini yang menjadi bagian dari ease of doing business juga,” jelasnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia tercatat 47,85 juta jiwa pada 2024. Jumlah tersebut turun dibandingkan 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa.(*)
Sumber: VOA Indonesia
Komentar