Kepri  

Johanes Tarigan: Menjaga Ekosistem Waduk Demi Kelangsungan Hidup Sangat Penting

Medianesia

Medianesia.id, Batam – Sebagai kota Industri yang berbatasan dengan dua negara, membuat Pulau Batam menjadi salah satu Kota Metropolis yang berkembang pesat.

Kota berpenduduk 1.164.352 jiwa (data Disdukcapil Batam tahun 2015) atau naik 158 kali lebih besar sejak dibangun oleh BP Batam pada tahun 1970-an ini, terus mengalami lonjakan jumlah penduduk sebanyak 7 hingga 10 persen setiap tahunnya.

Kondisi ini pun menimbulkan perhatian serius Bakal Calon Wali Kota Batam Johannes Tarigan. Saat ditemui IDNNews, Pria yang akrab disapa Bang Joe ini mengakui ,kebutuhan air bersih yang cukup tinggi di kota berbentuk Kalajengking ini sangat penting.

Mengingat, Batam hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber air bakunya yang ditampung dalam 5 waduk Selain itu, tingginya konsumsi air bersih warga Batam jauh melebihi rata-rata pemakaian kota-kota besar di Indonesia. Dimana konsumsi air skala kota besar dalam satu harinya mencapai 150 liter per orang.

Sementara di Batam sendiri, mencapai 199 liter perorang dalam satu hari. Sedangkan menurut data di WHO dan Permenkes terkait kebutuhan minimum atas air sebesar 60 liter per orang dalam satu harinya.

“Hal ini menunjukan bahwa penggunaan air bersih di Batam sendiri setiap tahunnya selalu bertambah,” trangnya.

Hal ini pun, tambahnya, kian meresahkan saat melihat kondisi waduk-waduk yang ada di wilayah Batam, yang kerap menjadi salah satu tempat aktivitas ilegal. Bahkan terkesan aktivitas di area tangkapan air menjadi masalah klasik di Kota Batam yang tak kunjung tuntas dibereskan.

Bukannya berkurang, aktivitas ilegal justru semakin marak mengancam kawasan lindung, dan tentu
saja berdampak langsung terhadap kualitas dan kuantitas cadangan air baku bagi Batam yang
memang bergantung pada air waduk.

Mulai dari aktivitas memancing, munculnya, Keramba ikan hingga banyak perkebunan dan peternakan
di area kawasan daerah resapan air tersebut.

Gangguan air dalam waduk juga dipengaruhi oleh banyaknya tumbuhan eceng gondok.

Ketahanan waduk
juga didukung oleh berfungsinya daerah tangkapan air (DTA)/(Catchment Area).

Apabila daerah resapan air dirusak, tentunya tidak akan berfungsi maksimal dalam menyerap air
hujan.

Sementara pohon-pohon dilokasi tangkapan air sudah mulai dirusak, bahkan tidak sedikit
perumahan-perumahan liar muncul di area resapan air.

Sehingga fungsi ekologisnya tak lagi mendapat perhatian. Sementara, Fungsi ekonomis, yaitu
sebagai sumber mata pencaharian hidup seringkali mengalahkan fungsi hutan dalam memelihara
keseimbangan ekologis –termasuk iklim global.

“Perlu disadari atau tidak, pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia
(eksploitasi hutan) tanpa memedulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka,” terangnya.

Seingatnya, Batam pernah memiliki pengalaman buruk akibat lalai menanggulangi praktik perambahan dan eksploitasi hutan lindung di area tangkapan air. Waduk Baloi, yang merupakan waduk pertama di Batam yang saat ini berhenti beroperasi karena sudah dipenuhi penduduk.

Hutan lindung Baloi dirambah oleh penduduk, kemudian dijadikan pemukiman liar. Kini areal
tersebut dikenal dengan nama Baloi Kolam. Berkurangnya jumlah hutan secara signifikan
mengakibatkan sedimentasi waduk semakin parah.

Sementara limbah organik warga memperburuk kualitas air yang ada di waduk, hingga bakteri e-
coli yang terkandung dalam air melampaui ambang batas. ‘Sepiteng Raksasa’ jika diibaratkan.

Akibatnya, air yang diolah tak lagi layak konsumsi. Kalaupun harus diolah, biaya yang
dikeluarkan hingga air layak konsumsi akan sangat tinggi.

“Untuk itu, dibutuhkan sebuah kesadaran dari diri masing-masing untuk sama-sama memperhatikan dan menjaga lingkungan di kawasan daerah resapan air. Meski Pemerintah Daerah sudah menerapkan aturan dan melakukan penertiban secara masif, jika tidak dimulai dari diri sendiri untuk tidak sama-sama menjaga lingkungan maka hal tersebut akan menjadi hal yang mustahil,” tambahnya.

Bahkan Badan Penguasahaan (BP) Batam pernah membagi wilayah waduk dalam beberapa zona, dimana
genangan waduk merupakan zona inti. Sedangkan Radius 500 meter dari genangan tersebut adalah
zona penyangga atau buffer dan sampai ke batas hutan adalan zona transisi.

Sehingga tidak boleh
ada kegiatan masyarakat apapun di seluruh zona tersebut.

“Semoga dengan adanya hal ini, membuat sadar para pelaku-pelaku ilegal di kawasan Waduk dan
benar-benar menghentikan aktivitasnya. Mengingat, kebutuhan air baku di Batam sangat lah
penting dibandingkan kepentingan pribadi,” tegasnya.

Selain itu, menjaga usia Waduk menjadi hal yang sangat krusial. Sehingga hal ini bisa menjadi
warisan bagi generasi kita kedepannya.

“Mengingat, apa yang kita lakukan saat ini menjadi hal yang akan kita berikan kepada anak dan cucu kita nanti. Tetap Semangat dan salam SAH! Selalu Ada Harapan!,” tutupnya. (Iman Suryanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *